Begundal-Begundal Tahun Ini
“Tahun-tahun ini dan mungkin saja tahun akan datang tidak ada yang peduli dengan nasib Munir atas dagangan surat kabarnya di pinggiran kota dan nasib nasi angkringan Marsinah itu hilang digusur habis. Cerita ini dibawa oleh Rollo seorang eksistensialis dari ufuk barat yang menceritakan hilangnya anak semua bangsa”
Rollo telah berlayar dalam karya-karya eksistensialnya, menitipkan pesan-pesan yang mendalam untuk tahun-tahun ini, tahun yang cukup membuat Munir dan terutama Marsinah atas keberlanjutan hidupnya. Cerita yang dibawa kali ini mulai dari apa yang sehari-hari Rollo sang eksistensialis dari bagian barat menceritakan keluh dan pilunya atas kabar yang tidak mengenakkan dari anak-anak semua bangsa tahun ini.
Anak-anak yang mengalami kecemasan berlebihan akibat mendung yang hanya mempertunjukan diri tipis di langit, sungkan menjatuhkan diri sebagai peringatan sekalipun hanya sesapuan saja. Situasinya begitu putih tanpa sedikitpun kemerahan dari amarah atas apa yang mengancam dan menjatuhkan tanpa bisa sedikit saja bangun dan berkata “akhiri atau lawan,” sekalipun hilang dan mati setelah itu.
Tahun-tahun kelabu itu sebenarnya sudah jauh berlalu, buktinya sebagian orang-orang itu tidak tahu menahu atau belum mendapatkan cerita, mungkin saja lupa atau lebih parah lagi memutuskan untuk tidak ingin mengingatnya kembali. Orang-orang itu bilang, apa saja yang ada di hadapan manusia hanya perihal jarak dan batasnya adalah ufuk. Begitu jarak ditempuh setiap ceritanya jauh bersama ufuk.
Ucapan Rollo tadi dirasa berlaku kali ini, sudah berapa periode berlalu tetap saja sikap-sikap beraninya selalu terlambat, terlambat untuk sekedar menyatakan ketidaksepemahaman dan ketidakakuran oleh segala bentuk tindak tanduk.
Dari sinilah dinilai betul adakah awal catatan cerita ini cukup tepat atau tidak. Setidaknya semua harus diawali dan dilanjutkan. Dan inilah awal catatan cerita anak bumi putra yang kecemasannya hilang terhadap ketiadaannya tahun-tahun ini.
Rollo, panggilannya, ia seorang pemikir yang dengan hati dan perasaan orang-orang yang mengimani eksistensialisme dalam pikiran dan hatinya, sekalipun itu bukan menjadi ukuran untuk menganggapnya mengimani eksistensialis yang hanya terbatas sampai pikirannya saja. Ia membawa sekilas temuanya, menceritakannya dari sudut kota sampai ke pinggiran kota. Kecemasan-kecemasan nampak terang diwajah, bukan wajah Rollo namun seseorang yang ia bawakan dalam ceritanya yang ditemui sewaktu usianya 30 tahun.
Tahun-tahun ini menegaskan cerita itu, jangankan mengharapkan perkataan-perkataan yang sedikit tidak baik untuk peringatan kepemimpinan, di awal sebelum kepemimpinan itu berganti tetap saja tidak ada yang mempertanyakan kenapa situasinya sama saja dan kenapa kecerdasannya sama saja dari sebelum-sebelumnya. Situasinya bahkan semakin tidak wajar sebab hanya ada kecemasan berlebihan atas ketergantinya posisi dan pengakuan oleh hal yang lain hal yang merupakan bagian dari perubahan.
Rollo telah menyorong Munir melalui jarak-jarak yang terbatas, begitu Marsinah disorongnya dari jarak-jarak yang lain, kali ini ia ingin hal yang sama disorong kepada anak-anak baru itu. sekalipun hasilnya lebih menunjukan bukti-bukti yang ia sampaikan di awal, bahwa percuma saja karena mereka cenderung menyiapkan apa-apa yang menjadikannya diakui bahkan disegani, bahkan oleh sesuatu yang tidak masuk akal sekalipun.
Hanya dua nama, Munir dan Marsinah saja yang tahun-tahun ini dirasa menyinggung mereka, tanpa harus berfikir bahwa ada nama bangsanya yang sedang dikremasi di tahun yang sama, tidak ada kalimat-kalimat yang dapat tersampaikan hanya ada kertas-kertas bertuliskan menolak lupa namun melupakan penolakan-penolakan yang seharusnya juga tertulis jelas. Tidak mengherankan karena hanya untuk menghilangkan kecemasannya saja dirasa cukup untuk melindungi dirinya yang justru hal itu terus saja berulang setiap tahun, tahun dimana dirayakannya kecemasan individualistis.
Wajar jika Rollo menjadi kiblat menguliti perlakuan tidak senonoh itu, mempertontonkan kematian dan kembali menunggu kabar penewasan, sampai pada situasi tahun ini dimana tewasnya budi pekerti yang rupanya akan dirayakan sebagai perayaan baru bagi semua anak bangsa.
Apa yang kiranya akan diharapkan dan siapa yang melayangkan pengharapan di tahun baru, entah barangkali dunianya akan dibuat sederhana, sesederhana pemahaman kawan lama ketika menceritakan hasil bacaan panjangnya atas buku filosofi teras yang masyhur beberapa pekan silam. Sebagaimana eksistensialisme Rollo dari jendela lain mengatakan soal kepasrahan itu dan tidak menyalahkan sesuatu diluar dirinya sebagai entitas yang salah, kesenangannya hanya cukup pada dirinya saja.
Apa-apa yang dipikirkan tentang tahun yang dijanjikan lahir dengan sempurna, tidak hanya cukup mengarahkan pandangan ke atas saja begitu kebawah situasi dan kabarnya sama saja, mengharukan dan bahkan mengenaskan, siap untuk diakhiri dan dibangun kembali.
“Atau begini saja, kembalikan saja koloni-koloni belanda beberapa dekade lama, toh sama saja perilaku dan perlakuannya,” ujar sebagian besar gen akhir di tahun-tahun ini. Sialan, mungkinkah kita dapat katakan mereka sampah yang siap disapu habis setiap pagi.
Jika begitu, kita akan sedikit kehilangan kursi-kursi emperan jalan dan warung kopi samping kampus untuk bebas membicarakan kerusakan dan ketimpangan yang diakhiri dengan umpatan keras, tanpa harus khawatir paman pedagang kopi akan memperhatikan bahkan sampai menasehati umpatan yang tidak baik bagi seorang yang terdidik. Lalu, bagaimana kira-kira umpatan itu formulatif bagi keberlangsungan bangsanya sendiri?, dan bagaimana jika itu memang hasil didikan bangsanya?, atau lebih menarik lagi, itu pengaruh perilaku bebasnya ketika menyentuh buku-buku yang ditanggalkan beberapa dekade sebelumnya?.
Akhirnya, bumi manusia terhampar berantakan di bawah kaki-kaki tidak bertanggung jawab, mereka hirup udara hembusan perut bumi yang menyintas batuk parah dalam-dalam untuk mengakhiri semua. Selamat tinggal, kapal-kapal tenggelam. Selamat tinggal, laut-laut sudah terjual habis. Selamat tinggal semua yang sudah menghulu ke kepentingan tertentu. Tak terkecuali kekasih yang sudah digadaikan dengan bunga yang cukup membekak, selamat tinggal.
Memasuki dunia baru, memasuki satu dekade 100 tahun akan datang, dapatkah untuk jaya, sedikit tidak menandakan kejayaan atau menyingkirkan kalian, semua penghalang!, tak laku bagi mereka panji-panji Vent, Vidi, Vici, yang menjadikan bangsa eropa melenggang. Atau keyakinan sebagian orang timur kebangkitan ditandai dengan kerusakan yang dilanjutkan dengan keruntuhan. Tapi tetap saja ini membuat siapa-siapa saja yang ingin meyakininya tidak sampai kemudian tinggal menunggu waktunya.
Datang bukan untuk menang, karena tidak pernah bercita-cita untuk jadi pemenang. Orang yang mengajari mengibarkan panji-panji itu, mereka tidak pernah menang. Tahun-tahun ini bahkan seakan menandakan menuju situasi tertunduk menghujam jatuh bersama panji-panjinya sekaligus. Jadi hanya karena keluarga itu membangun kejayaan dalam satu malam seperti Syailendra membangun Borobudur selama satu malam.