ilustrasi oleh: pixel77.com

Codot di Pohon Kebebasan

Lalu Muhammad Alwi

--

“Mengenang Nenek Moyangku, pemilik pohon kebebasan serta pendongeng Nusantara yang mahir menceritakan perjalanan terbesar yang pernah kukenal”

Begitu banyak serangga terbang berputar mengelilingi lampu depan rumah, begitupun dengan hewan bersayap kulit mampir bergelantungan di pohon jambu peliharaan nenek depan teras rumah. Waktu begitu berputar beberapa saat pun menunjukan waktu menjelang jam 10 malam, dengan gelaran tikar lontar di teras depan rumah, nenek mulai bercerita melanjutkan cerita malam-malam sebelumnya.

Nenek selain suka bercerita juga salah satu yang Oles akui dalam hal bagaimana merawat tanaman-tanamannya, salah satu yang begitu ia rawat sepenuh hati satu pohon jambu depan rumah yang kadang-kadang dinamakannya sebagai pohon kebebasan. Sesekali Oles yang bingung mempertanyakan penamaan atas pohon itu, begitu juga dengan keadilan atas nama kebebasan itu, bagaimana tidak Oles yang sesekali membantu menyiraminya tidak pernah sekalipun mendapatkan hasil panen buahnya, setiap malam dihinggapi oleh hewan-hewan bersayap kulit yang rakus dan menyisakan sisa serta kotoran di ranting-ranting pohon nenek, Codot kami menyebutnya.

Pohon yang didedikasikan Nenek untuk semua mahluk yang berkenan untuk mencari makan dan hinggap di pohon itu, semisal seperti Codot yang begitu dominan setiap malam tidak pernah absen, melahap buah-buah yang sudah ditandai Oles guna besok pagi dipanennya, Codot yang sifatnya rakus ini dipandanginya makan buah-buah itu begitu kenyang dan tidurlah bergelantungan sampai fajar pun muncul. Begitu kesalnya Oles, mengapa kebebasan itu dominan di berikan kepada Codot-Codot yang tidak begitu angun dilihat bahkan menyeramkan, hewan yang terbang namun bersayap kulit, berbeda dengan burung-burung yang indah di pagi hari menghinggapi pohon ini.

Atas dasar itulah nenek menamai pohonnya dengan pohon kebebasan, dimana kebebasan itu hak untuk siapapun dan apapun itu, bualnya sambil sesekali menengoki pohonnya. Ahh… ini tidak begitu adil, nenek membiarkan Codot-Codot itu terus menghabiskan buah-bauh rawatannya dan saya harus membersihkan sisa-sisanya setiap pagi ditambah gagal terus untuk memanen buahnya, kegiatan itu begitu menyita waktu untuk mempersiapkan perlengkapan sekolah.

“Codot-Codot sialan, sesekali akan kupasangkan jebakan dan menjualnya ke Koh Liem untuk dijadikan obat tradisional” ujar Oles setiap paginya dengan muka masam dan seketika berubah ketika tertangkap basah oleh Nenek.

Ada satu cerita yang menarik perhatian Oles, titisan sang gunung, judulnya yang diceritakan nenek setiap sebelum bertandang ke gunung mengantarkan makanan untuk kakek yang sedang mengurusi lahan padi pasca purna sebagai angkatan ABRI, sekarang seorang veteran yang memutuskan untuk merawat tanah dan pegunungan miliknya.

Cerita itu berkisah tentang seorang pribumi negeri timur yang terbuang karena kegilaannya akan masa depan negerinya, di lain sisi ia harus menerima bahwa hanya ia yang berfikir demikian, keluarga, kawan-karib serta orang-orang di sekitarnya menjauh bahkan menghilang. Namun siapa sangka kegilaan itu atas dasar kecerdasannya yang luar biasa, begitu berbeda dengan orang-orang seusiannya.

Yang membuat bangga nenek terhadap orang ini, kebesaran hati dan kebijaksanaan kecerdasannya, hingga konon katanya banyak orang-orang terdekatnya dahulu yang menjadi orang-orang besar lahir di semua penjuru negeri, “jika ingin menemuinya berangkatlah ke arah timur gunung tempat ia mengasingkan diri menunggu saatnya ia diutus gunung untuk turun” ujar nenek. Bersembunyi di balik pohon-pohon besar yang sekujur batangnya dilumuri juluran rotan-rotan, ia duduk sambil terus-terusan bergumam: “Ini kehendak yang Kuasa … Ini kehendak yang Kuasa,” seolah-olah ia terus mencoba meyakinkan dirinya bahwa memang demikian takdirnya.

Tidak tahu lagi sejak ia melihat orang-orang di bawah gunung bak iblis kecil keturunan asli, yang nyata baginya hanya rasa takut dan cemas ketika sesuatu kehendak tuhan mengangkat gunung itu dan meleyapkan manusia-manusia dibawahnya bak gunung samalas silam membasmi peradaban suatu bangsa kecil. Ia berbaring dibawah pohon dan begitu sengaja membuka matanya untuk merasakan pedihnya sinar matahari yang menyilaukan serta perihnya perut yang belum saja terisi yang semakin mengurus bagaikan pertapaan sang Budha. Di benaknya tidak ada sosok yang begitu jelas, hanya kegelapan yang terus semakin pekat tanpa adanya tanda-tanda kejelasan.

Tidak terasa waktunya nenek berangkat ke gunung, sudah waktunya kakek beristirahat dan mengisi tenaga dengan ikan sepat masakan favorit nenek. Begitupun dengan Oles harus berangkat ke sekolah dengan hati yang cukup kesal, hari ini mata pelajaran berhitung, mata pelajar yang membuat Oles tidak dapat menjawab sesuai keinginan dan kemauannya sebagaimana Codot-Codot yang dibebaskan nenek mengoyak-oyak pohon dengan merdeka dan semau-maunya.

Hari ini seperti biasa Oles tidak sampai sekolah, ia berhenti di toko buku paman Jo dan membaca serta membuat berantakan rak-rak buku paman Jo, jika dimarahi maka ia akan memberikan separuh paman Jo bekal ikan sepat yang disisihkan nenek tadi pagi. Buku-buku favorit Oles dan terus berulang-ulang dibacanya seperti karya Tan Muda, Soe si murid nakal, Sang Pengembara dan sesekali karya-karya Bapak Guru Hatta guru ngaji Masjid Sudirman.

Sesekali ketika jenuh ia pun meminjam radio paman Jo untuk mendengarkan musik-musik ataupun berita-berita hari itu, begitu riang jika mendengarkan musik keroncong dan sesekali tangannya memukul meja mengikuti irama, lain dengan ketika ia mendengarkan berita, setiap Oles mendengarkan pasti pemberitaan persoalan-persoalan kebobrokan pemerintahan negeri. Sesekali ia memarahi paman Jo sebagai orang dewasa dan memiliki buku berjibun banyaknya, kenapa tidak bisa memberikan perubahan agar pekan depan berita yang didengarkannya berita baik. Di fikiran Oles hanya paman Jo saja yang cocok menjadi pemimpin negerinya, sebab begitu akbarnya ia dengan paman Jo yang sesekali berkongsi cerita sedih pun senang.

Tidak dirumah Oles kesal dengan Codot-Codot itu yang setiap malam menghabiskan buah dan paginya menyisakan kotoran, begitupun di toko paman Jo ia mendengarkan berita yang begitu membuatnya kesal. Sesekali ia bergumam di sepanjang perjalanan pulang: “Orang-orang itu begitu sama dengan Codot-Codot diatas pohon kebebasan”, malang sekali Oles, “apakah dewasa nanti aku akan menjadi orang-orang yang sama” ujarnya kembali sesampainya di depan rumah sambil memperhatikan pohon jambu nenek yang rusak.

Waktu begitu cepat, Oles yang bocah dulu sudah menemukan fase ramajanya dan akan segera menyelesaikannya, ia berada di kelas 3 Sekolah Menegah Atas. Begitu diimbangi dengan buku-buku yang bahkan ia miliki sendiri dirumah, di rak-rak bambu yang dibuatkan kakek, begitu juga dengan cerita-cerita nenek sudah sampai di lembar-lembar akhir dirasanya, berlainan dengan pohon jambu yang begitu semakin lebat dan subur saja.

Kakek sudah meninggal ketika Oles kelasa 2 lalu, begitupun saat ini nenek sudah tidak kuasa memasakkan Oles ikan sepat lagi, apalagi hanya untuk bercerita saja sudah tidak kuasa. Sesekali ia bergumam, apakah ini tanda bahwa ia akan pindah dan bersama orang tua kandungnya di kota metropolitan sana dan dengan ketakutannya akan bertemu langsung dengan orang-orang yang dulu ia dengarkan dalam pemberitaan, itu membuatnya sedih terus menerus, sekarang tinggal Codot-Codot itu yang mengawaninya di depan teras rumah setiap malamnya sambil sedikit-dikit membaca kembali buku-buku yang ia miiliki di rak dan sesekali menceritakan anak-anak tentangganya cerita-cerita nenek.

Begitu semeraut situasi dan fikirnnya dan bergumam kambali menanyakan dirinya; “Apakah aku harus menjemput orang pribumi yang di ceritakan nenek silam” ujarnya dalam hati, pengharapannya hanya itu saja, menuju kedewasaannya yang sama dengan Codot-Codot yang dulunya beramai-ramai dan sekarang terlihat hanya satu yang masih tersisa dan berkuasa atas pohon kebebasan nenek, entah apakah yang lainnya sudah dibinasakan satu ini atau mati karena umurnya atau dimakan hewan buas lainnya.

Malam Jum’at sekitar jam 12:30 kembali Oles dihadirkan kesedihan, di malam itu Nenek pun menyusul Kakek membawa pertanggungjawabannya kepada Tuhan, dari apa yang diketahui dan diceritakannya selama hidup. Sebab begitu percanyanya Oles oleh semua cerita-cerita nenek tanpa sedikit pun keraguan.

Tangan Oles menegadah ke atas melewati bahunya dan berdoa untuk kedua orang yang begitu berjasa mengenalkannya dunia, memberikan penglihatan, kepekaan dan hati yang berbeda dengan yang lain saat ini, juga memohon waktu menyegera turunnya pribumi yang di ceritakan dulu kepadannya, karena ia tidak kuasa untuk menjemputnya sendiri. Begitu optimis Oles akan menunggunya di kota dan menyambutnya nanti, sekarang ia akan memantaskan dirinya sebagai Oles yang dewasa dan alif atas segala perjuangannya.

“Hiatus masa kebangkitan itu, akan disambut dengan tangan-tangan putih nampak darah merah di saraf-sarafnya. Bangsa itu akan berbangga dan menjunjung sejarah dan masa depannya” ujarnya terakhir dan meninggalkan rumah yang mengisahkannya dan membentuknya saat ini.

/Gerantang [Abdi Kesayangan Tuhan]

--

--

Lalu Muhammad Alwi
Lalu Muhammad Alwi

No responses yet