ilustrasi oleh: jalandamai.org

Kalau Aku Indonesia

Lalu Muhammad Alwi

--

“Saya bukanlah orang asing, saya hanya putra dari negeri tropis bercirikan kulit warna sawo matang, seorang pribumi asli jajahan, oleh sebab itu saya tidak akan protes”

Napi karye senamian , sudah menumpuk saya melihat di berbagai narasi surat kabar dan pemberitaan begitu menumpuk sekali di propagandakan untuk menyambut dan mempersiapkan sebuah pesta besar di sini, di tanah air; pesta perayaan 5 tahun bagi-bagi kekuatan dan warisan ibu pertiwi. Rakyat negeri ini tidak boleh lupa saja, bahwasanya tahun yang akan datang jadilah saat itu terealisasi, alasan tahun akan datang dijadikan momentum pergantian wakil-wakil rakyat dengan sumpah serapah tidak nyata bersuara sumbang bahwa Indonesia akan merdeka dari segala keluh kesahnya.

Dirujuk melalui segi yang patut bahwa sepantasnya kontestasi nasional itu bergulir terus dengan harta yang berhamburan itu diterima dan dimeriahkan dengan pesta. Bukankah hal itu yang mencerminkan kecerdasan intelektual dan kesetiaan orang-orang bumiputra ke negerinya, bukti kesetianya pada tanah yang dulu diperjuangkan dan dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan perlakuan dan perjuangan pahlawan ? perayaan pesta itulah yang menggambarkan rasa kebanggaan mereka, bahwa tahun 1916 sampai 1945 dahulu bangsanya berhasil melepaskan tekanan dan perlakuan penjajahan dari pundaknya lalu ia berdiri menjadi satu bangsa yang merdeka dan bahagia.

Saya begitu cepat menerka rasa kegembiraan yang muncul dari wajah-wajah patriot masa sekarang, yang bisa ikut merayakan pesta semacam itu bahkan begitu berlomba mendudukkan diri paling depan. Karena begitupun saya seorang patriot juga, begitu juga dengan bumiputra yang sebenar-benarnya mencintai negerinya, begitu pun saya cinta pada tanah air ini, yang mungin lebih dari yang saya rasakan.

Alangkah gembira dan senangnya, dapat merayakan hari-hari dimana isi saku setebal hasil catatan kajian kebangsaan yang begitu juga angkuh dan lupa daratan, dimana hari itu begitu besar arti baginya. Saya ingin sekali, bisa sekiranya sewaktu-waktu menjadi orang asing, bukan seseorang yang lahir dari rahim ibu pertiwi, tetapi sebagai seorang putra tanah air yang besar dan tulen, sudah jelas bebas dari cacat-catat asing. Begitu gembiranya saya, apabila nanti di tahun mendatang ini yang begitu lama dinanti-nanti, momentum perayaan pesta yang sarat akan kemaksiatan lisan dan kaki tangan yang begitu putih mulannya.

Di situlah letaknya, menurut saya, sesuatu yang sangat tidak pantas, perilaku yang juga tidak tahu malu, tidak senonoh, ketika saya berdiri sebagai orang asing misalnya, semua orang pribumi ini harus ikut bergembira dan merayakan pesta yang begitu meriah. Saya, pertama-tama, akan melukai perasaan di sini serta kehormatan mereka, karena saya berdiri di atas kedap air yang mereka kendalikan, mereka ikut memuji pesta hanya untuk terus bergerak dan menari di halaman dan serambi aula tanpa menahan diri dari makanan dan minuman, jika yang lapar hanya bisa berbagi dengan orang lain, jika haus bisa minum dari kran yang ada di pojok aula.

Apakah saya tidak harus memikirkan, bahwa orang-orang malang itu juga mengharapkan mencapai suatu momentum, yang mereka anggap saya dapat mengadakan pesta yang serupa? Ataukah saya memiliki sangkaan, bahwa dengan ilmu dan siasat saya yang lama terus menerus menindas pengharapan dan cita-cita yang hidup. sudah menindas segala perasaam kemanusiaan yang terpatri dalam jiwa bumiputra? Kalau begitu saya akan menipu diri sendiri, karena sudah nyata bahwa sebiadab-biadabnya bangsa-bangsa manapun itu menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan dan kemaksiatan. Saya sama sekali tidak akan pernah mengadakan pesta-pesta di negeri ini sedang saya menahan kemerdekaan bangsanya.

Rasa kegembiraan hati saya akan meluap-luap melihat dengan jelas bendera merah putih dengan secarik pengharapan pertanda adanya manusia lahiran ibu pertiwi bak wajahnya sang raja tanpa mahkota ratusan tahun lalu yang begitu utuh dan membaktikan dirinya untuk ibu pertiwi.

Suara ini akan parau ikut serta melantunkan lagu Tanah Airku, apabila nanti intrumen beduk-beduk kulit sapi mulai dibunyikan. Saya akan menjadi angkuh dengan segala peryataan itu, saya akan menengadah serta memuji Tuhan di tempat persembahyangan untuk segala kebaikan-Nya, saya akan berdoa memohon ke langit yang tinggi supaya ibu pertiwi tentram di bumi Nusantara tidak lapar karena subur padinya dan tidak haus karena mengguyur jernih mata airnya dimana-mana sampai nampak ikan-ikannya.

Sialnya, lagi-lagi kembali terucap kata; Akan tetapi…. saya ini bukan dari orang yang berada juga beradab, saya hanya putra negeri tropis dapat dikenal dengan ciri berkulit warna sawo matang, seorang pribumi jajahan orang-orang yang entah saya lihat mirip juga kulitnya dengan kami, karena itulah saya tidak akan berani memperotes.

Karena, jikalau saya memperotes, orang-orang beringas itu akan marah pada saya. Saya akan disalahkan dan dibuatlah hilang sekejap kursi dan harta-hartaku.

Juga orang-orang akan menuduh dan mengucilkan saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, ratu kita yang dihormati atas kesaktiannya memunculkan juga menghilangkan apapun yang diinginkannya, dan hal itu tidak dapat diampuninya, alasan saya rakyat yang selalu harus setia sepenuhnya pada kedudukannya.

Dan karena itulah saya tidak akan perotes.

Melawan saya harus ikut terus merayakan.

Apabila nantinya diadakan pemungutan biaya, saya pasti akan memberikan sumbangan, sekalipun karena sumbangan itu akan mengurangi belanjaan rumah tangga hingga sebagiannya. Kewajiban saya sebagai pribumi jajahan, tidak lain untuk ikut serta merayakan dan menyemarakan hari kemerdekaan negeri juga pesta-pesta besar yang diadakan di negeri tuan kita.

Saya akan memanggil orang-orang di negara saya, orang-orang yang juga sesama warga kerajaan ini untuk berpartisipasi dalam perayaan itu, karena meskipun perayaan ini hanya dimaksudkan untuk tuan kami, kami akan menemukan kesempatan yang baik untuk menyatakan kesetiaan dan kesetiaan kami. kehormatan bagi negara. Dengan begitu kita harus mengadakan "demonstrasi kesetiaan". Betapa bagusnya itu. Maaf, saya bukan orang asing.

Sekarang, terbelenggu oleh ironi.

/ Gerantang

--

--

Lalu Muhammad Alwi
Lalu Muhammad Alwi

No responses yet