ilustrasi oleh: i.pinimg.com

Mantra-Mantra Ibu Pertiwi

Lalu Muhammad Alwi
5 min readMay 15, 2024

--

Tidaklah aku pernah melihat ibu melupakan mantra-mantranya tumbuh subur di sudut-sudut pulau, air yang damai, gunung yang sunyi dan hutan yang dingin, segalanya berkat mantra-mantra yang akhir-akhir ini anggapanku mungkin atau sepertinya mantra itu sudah mati

Jauh dari tahun-tahun revolusi itu terjadi 1945–1949 setidaknya usia kemandiriannya dalam membangun segala bentuk superiornya sebagaimana tempat-tempat yang mengakuinya berdaulat di masa silam, kiblat yang cukup untuk menunjukan gaya saja menurut saya. Begitu salah satu orang yang saya kenal Robert mengatakan kiblat-kiblat yang begitu membuat negeri itu tidak lagi kuat dan susah untuk mengenalkan dirinya siapa sebenarnya di hadapan orang-orang yang bermuka rakus akan hal yang sama itu, begitu tidak aneh jika ibu mengatakan wajah-wajah itu jelmaan sesuatu yang entah dari alam lain.

Padi jatuh tidak bertuan

Laut nampak bergerak marah

Gunung terdengar gemuruh sesak

Penduduk sujud, berdiri, merunduk

Mengatakan…..

Pulang!

Pulang!

Pulang!

Itulah mantra-mantra yang setidaknya jelas terdengar dari lisan ibu, yang terkadang dilantunkannya dengan samar begitu dilain situasi dengan jelas dan lantang, mungkin nanti ketika dewasa maksud dari mantra itu dapat dipahami seterang bulan ketika betul-betul sempurna wujudnya di atas kepala. Mantra-mantra ibu begitu situasional dan berbeda entah akan berada di tempat-tempat yang ia rasa ada yang perlu di doakannya dengan mantra-mantra itu, tapi tidaklah kalian boleh menilai kebiasaannya ini sama dengan orang-orang timur yang ia anggap orang-orang itu sentimental sekali apalagi orang-orang barat yang begitu hanya mengharapkan untuk dari semua kebaikannya di awal.

sudah 78 lebih sedikit bulannya usia ibu, sudah jelas takaran lansia yang dihitungnya semenjak menikah dengan manusia yang dianggapnya sebagai keberuntungan semenjak ia lepas dari tuan yang membuatnya cukup lama di usia remajanya sibuk dan tersiksa sebagai budak yang diperjual-belikan kepada pelancong kulit putih, aku begitu malu untuk mengucapkan berapa lama ia harus tersiksa dengan perbudakan itu, begitu berkaitannya dengan suaminya yang entah begitu sama mistisnya dengan mantranya, siapapun yang ada disekitarnya akan menganggapnya mirip Maryam yang melahirkan anak tanpa ayah. Seorang anak yang tumbuh dengan baik dan menawan sampai-sampai menjadi target tawanan sekelompok orang yang ia sebut kelompok barbarisme, semenjak itulah mantra-mantra itu ia lantunkan entah kepada siapa atau apa itu dilantunkan, ia hanya menegaskan itu untuk keselamatan anak-anaknya.

Saya merasa ada yang hilang dari sesajen yang biasa ibu gunakan sebagai medium mantra-mantranya, setidaknya akan aku tanyakan kepadanya, sedikit pesimis karena dirasa ia sedikitnya sudah berusia yang cukup tua, setidaknya aku sudah tanyakan perihal itu.

“Wahai Ibu, apakah lupa kenapa mantra-mantramu kali ini tidak terkabulkan?, kau yakin tidak lupa sesuatu sama sekali?, atau karena aku yang belum terlalu faham terkait itu?” begitu ditanyakan ini begipula senyum tipis tapi mata tajam perlahan mengarah ke sini.

tidaklah nakda lupa apa-apa yang selama ini aku bangun dari mantra-mantra itu, tidaklah nakda merasa adanya hidup bak manusia-manusia di belahan dunia lain sana yang selalu saja membuat kapal-kapal besar, bengunan-bangunan besar, dan bahkan sampai adanya aku melihat tipu daya satu sama lain?” tanyanya kembali.

Hal itu memembuka ingatan perihal timur dan barat, dalam bukunya Rudyard Kipling berjudul Ballad of East and West, ada satu kalimat yang begitu terang mengatakan “Oh, East is East, and West is West”, siapa yang begitu berani mengatakan hal itu, seperti ingin mendirikan arah mata angin yang berbeda atau mungkin ingin menjadi seorang bangsa yang moderat. Kacau-kacau, tidaklah bisa bangsa lain akan lepas dari dua arah mata angin itu, jika memang ada pastilah akan tertimbun dan hilang dari kalimat-kalimat superior. Begitu kalimat-kalimat itu dipikirkan kembali apa iya itulah yang membuat mantra-mantra tadi tidak menunjukan lagi kemujaraban serta keajaibannya, seperti ketika ibu akan mengusir hama dari padi-padi yang ditanam dengan mantra-mantranya sambil berkeliling dan sesekali menancapkan sehelai daun kelapa di setiap sudut-sudut sawah.

Ahh, Ibu-ibu yang terlalu berlebih atas semua perubahan ini!” balasku kembali sambil nyinyir.

Sebagai seorang anak satu-satunya yang terus pesimis untuk diturunkan ilmu-ilmu mantra ibu, karena setidaknya dari yang pernah terbaca di sebagian buku-buku termasyhur, haruslah kedewasaan itu bertandang ke arah mata angin tadi (barat atau timur), karena percuma sekali untuk terus mengakui diri sebagai yang moderat atau arah mata angin tersendiri dan mandiri sedang pesimis akan kekuatan mantra-mantra itu. Tamatlah rasanya jika usia ibu akan semakin rentan sedang anaknya masih bingung bak berada di ayunan yang membuatnya terdorong ke arah yang berlawanan terus menerus.

ibu, apakah ada mantra yang membuatmu kekal atas kematian atau setidaknya mengulur waktu kematian itu?” ujar pertanyaan itu sontak ditanyakan di tengah-tengah ibu yang terlihat mengingat-ingat kembali mantra yang ingin dipersembahkannya untuk laut, pantai dan pohon-pohon kelapa supaya akur.

Janganlah anakku hanya sibuk mengurusi arah-arah yang jelas-jelas secara bersamaan ingin menunjukkan superioritasnya terhadap kita, dan begitupun janganlah hanya membaca mantra Sartre dan Camus tapi tidak dengan mantra-mantra ibumu sendiri” jawabnya sambil tersenyum membuat wajah yang tadinya lumayan rata menjadi bergelombang kerutan.

Dengan mantra-mantra ini ketika berada di laut akan hidup, ketidak di hutan akan hidup, begitupun ketika di ladang tidak berujung” lengkapnya.

Mungkin jika ada hal yang tidak dapat dimantrai-nya itu tidak mungkin anggapanku, segala perbuatan dan tutur kata sekalipun akan selesai akhirnya pada mantra, jauh dari kata kurang atas itu ibu pasti akan melengkapinya, tapi apakah iya mantra akan mujarab di masa kemajuan nanti sebagaimana konspirasi-konspirasi yang terdengar dari sela-sela jendela barat rumah sebaliknya jendela timur begitu semakin asyik merayakan lantunan mantra yang sekarang hina dimata sebab dituangkannya dengan minuman dan gadis-gadis yang begitu nasibnya sama dengan ibu di tahun kelamnya dahulu.

Tidaklah baik bagi siapapun di muka bumi ini hilang meninggalkan satu-satunya apapun itu dari ibu pertiwi, semua akan dan haruslah kembali ke pelukan dengan sungguh-sungguh, dan tidaklah akan sia-sia kepulangan yang jiwanya ikut bersama tidak sebaliknya. Kebisingan serta keributan yang tiada hentinya diluar sana seakan jelas memberikan tanda-tanda untuk tidak luput akan mantra yang suci pemberian ibu pertiwi, sisakan waktu setidaknya hanya untuk sekali melantunkannya, maka apa-apa yang menjadi kehancuran di laut, hutan dan lahan tidaklah jadi dalam rencana-rencana manusia lupa ibu sendiri.

Janganlah tunduk atas ketidakpercayaan diri atas mantra yang sakti, ucapkanlah pada siapapun yang ingin memerangi dan menguasai tanaman-tanaman diatas tanah yang dulu ibu tanam dengan sepenuh jiwa dan raga, dengan semua itu kemudian merasa cukup untuk berdiri dengan sikap yang zelfbestuur.

Non Scholae Sed Vitae Discimus “Tidaklah belajar itu untuk pendidikan (sekolah) melainkan untuk tujuan hidup”, dari itu mari “Pulang” sebagaimana mantra-mantra Ibu Pertiwi untuk anak-anaknya.

--

--

Lalu Muhammad Alwi
Lalu Muhammad Alwi

No responses yet