Lalu Muhammad Alwi
5 min readFeb 7, 2024
ilustrasi by Selçuk Demirel

Negeri Sulap; Garam jadi Gula

Kita domba diburu hanya untuk melihat sebagian dari rencana, tidak tahu apakah Puan dan Tuan berpeluk di kubur atau di ranjang, ini bukan maksudku mau berbagi pilu, pilu itu kesepian masing-masing bukan urusan negara, mereka tidak mau tau

Ini cerita yang disampaikan pengarang buku termasyhur di eropa, Jhon Dryden namanya saya pinjam dari pengkritik sastra ternama, alasannya karena hanya ia yang dapat merepresentasikan orang yang saya maksud. Cerita ini disampaikan atas perjalanan panjangnya menuju bagian Asia sedikit berdekatan dengan Nusantara, sekali lagi jika kalian bingung maka anggap saja Nusantara namanya.

Cerita menyelam bermula dari 90 juta tahun lalu, dimana ada bagian tanah yang kemudian dianggap sebagai tempat bertumbuh bangsa kecil, perjalanan kedewasaannya jauh dan lama, begitu saking lamanya sudah banyak pelancong-pelancong yang menceritakan cerita lamananya dari hari ke hari, dalam semua cerita itu nampak banyak perubahan yang dialami sebagian tanah tadi. Semua ceritanya tidak ada yang bentukannya ejekan melain anjungan dan ucapan-ucapan kekaguman. Tapi, jangan pernah terlalu cepat percaya dengan itu semua, semua diceritakan jelas dengan alasan-alasan yang tidak diragukan lagi bentuk penguasan fisik dan batin.

Bangsa yang kecil itu berada di tengah-tengah peradaban bangsa besar lain, namun, saking egoisnya bangsa kecil itu tidak menginginkan satu kata pujian sama sekali, menurutku itu hal yang mengagumkan bagi bangsa lahiran para pengkritik dan pujangga yang membicarakan segala sesuatu yang dirasanya tidak sesuai dengan prinsip ketuhanan dan bangsanya. Saya rasa itu yang menjadikannya berbeda dan meyakininya sekecil-kecilnya dan suka diperolok bagian bangsa lain dari apa yang dicita-citakannya akan menyegera kembalinya ketersesatan serta syubhat yang terus-terusan marak di tanahnya yang suci dari hal-hal demikian.

Kembali menapak di masa Pleistosen dari 2 juta hingga 500.000 tahun silam ditemukan manusia yang menduduki tanah kecil itu, artinya kemanusiaan atas tanah itu sudah mulai nampak jelas, dikenalnya semua kekayaan yang ada di sekitarnya, dipelajari hingga dirawatnya sebagaimana dan seharusnya berdampingan. Perubahan itu nampak jelas terasa pada generasi alfa abad paling baru, perubahan dari semua lini termasuk saya mengira nilai kehidupannya juga, miris, tapi saya harap prasangka itu tidak benar untuk beberapa tahun kedepan, sebab saya di lain sisi meyakini dalam Atsar yang kira-kira berbunyi;

Mengapa kalian memperbudak manusia, padahal setiap anak-anak yang lahir dari ibu-ibu mereka adalah manusia merdeka”

Atsar itu bermula dari ujaran seorang pemimpin lanjutan umat manusia di bangsa bagian lain yang saat ini kita kenal dan junjung, saya mengaguminya atas segala kritik dan pedang lawas yang direstui tuhannya.

Jikapun penduduk bangsa kecil tadi merupakan hasil jajahan di tengah pertumbuhannya bersama ibu pertiwi (saya memanggilnya), ada yang mengatakan 300 tahun lamanya begitu juga sebagian optimis mengatakan 3 tahun lamanya, saya rasa itu tidak penting sebab yang akan kuat dan bertahan ialah yang tidak terus menghitung pilu masa lalu akan tetapi yang berani menapakkan kakinya sebelum masa beberapa tahun bahkan abad kedepan belum nampak akan bagaimana, kakinya sudah mengira akan mengarahkan arahnya kemana dan bagaimana. Tinggalkan sudah cerita lama itu, tidak cukup penting untuk ditampilkan kembali, tuhan sudah sangat tepat menentukan siapa saja yang menanggung itu semua di kemudian hari.

Inginnya mengajak kita untuk menyelami ruas-ruas cerita yang masih terjadi saat ini, sebagaimana saya sebelumnya diceritakan ini oleh banyaknya burung-burung migran dari beberapa tempat seberang sana. Setiap hari selama menunggu ruang-ruang peribadatan kosong burung-burung itulah yang ikut mengisi ruang-ruang itu dengan suara kicaunya, sembari lantunan itu aku merasa dan mendengar jelas itu cerita yang begitu semangat diceritakannya.

Mengingat-ingat cerita tentang bangsa Negeri Sulap, dipercaya oleh penduduk lain bahwa penduduknya cakap dalam menyiasati garam menjadi gula begitupun sebaliknya, ketika mereka harus berlomba untuk memanjat pohon tidak ada kata dan tidak ada cara benar salah melainkan menang kalah. Sekalipun dalam perlombaan ada garis-garis dan batasan yang itu dibentuk dari pengetahuan ketuhanan serta kemanusiaan, maka tidak berlaku atas dasar benar dan atau salah, melainkan menang atau kalah.

Sampai saat ini mendudukan awal cerita ini begitu merasa tidak ada suara hati nurasi titipan tuhan yang berujar “untuk kita”, atau mungkin saja “untuk kalian” atau yang serupa dan sebaik kalimat itu, sayangnya hanya ada suara-suara “menang!!” beberapa kali-kali selayaknya pertempuran bentuk kecil dari dunia ke-3, ini penjajahan dan penjarahan yang lebih menyakitkan dari apa yang saat-saat ini dialami penduduk baik pada bagian timur sana. Ahh…sampai sini saya rasa tidak enak hati untuk melanjutkan cerita ini, tapi simaklah sebentar saja, cerita ini menjelaskan begitu panjang sejarah sebenarnya menceritakan kesungguhan dari penduduk bangsa itu dapat bertahan sampai saat ini.

Melanjutkan cerita, bangsa tadi selain beberapa orang-orang yang pakaiannya cukup rapi setiap harinya keluar masuk ruang berbeda dengan petani keluar masuk hutan dan lahan, anggapan saya orang-orang yang bersolek pakaian setiap hari tadi ialah seorang pemimpin, aku merasa bangga jika di posisi dan situasi yang sama dengan itu, tapi lain kali saja, saat ini aku lebih suka duduk dimanapun itu terasa nyaman dan asik untuk membicarakan dan menceritakan cerita-cerita masa depan dan juga mendengarkan cerita lanjutan tentunya. Sedikit tertinggal bahwa orang-orang yang tadi saya sebutkan itu wanginya mirip satu sama lain, entah mereka memiliki pewangi yang didapat dari satu penjual yang sama atau satu kamar yang sama.

Saya merasa jumlah mereka dengan bocah-bocah angon lebih sedikit bahkan berbanding terbalik, bocah angon terus tumbuh perlahan, setelah ini maka saya tidak akan mengutarakan dan memikirkan tentang kesendirian dan kesedihan tanpa jalan yang jelas bak Chairil Anwar sang pujangga lama yang keluar dari ruas kelompoknya karena ujaran-ujaran yang bertentangan dengan yang lain. berlainan dengan kawannya yang lebih suka menciptakan permohonan-permohonan kabar baik untuk besoknya dapat merayakan kemenangan-kemenangan syubhat sebagaimana yang saya lihat akhir-akhir ini.

Yang saya tahu bahwa mereka cukup sering bermain dengan kalimat-kalimat dan data-data yang disulapnya dari suara-suara yang dibayar dengan jumlah yang tidak seberapa bahkan untuk membeli nasi kucing kuncup tidak cukup, kemudian seenaknya suara dan data tadi menjadi alasannya untuk menyegera menang dan menjarah habis-habisnya apapun yang dianggapnya milik sendiri. Sulapnya pun menjadikan yang banyak menjadi kecil dan ciut, jika sedikit bersuara riang dikurungnya yang dikemudian hari entah dilepas atau sama sekali tidak kembali, tersisa payung-payung baik yang menunggu untuk menjemput.

Tidak ada yang dilakukannya benar-benar sempurna semua akan salah di mata siapapun, terutama di mata yang mendongaknya dari bawah. Saya rasa memang tuhan tidak menciptakan kreasi tangan manusia itu betul-betul sempurna sampai semuanya dibangun atas hati yang sama, toh mereka tidak akan lama lagi, saya akan sepakat untuk mengabaikannya saja dan menoleh ke bawah untuk terus mendidik dan terdidik untuk masa baik selanjutnya.

Tuhan tidak menghendaki semua hal tanpa alasan yang kurang sedikitpun dan akhir yang tidak jelas, kita tidak menunggu itu namun menyegerakan hal itu”;

inilah kalimat yang dapat kita ikatkan untuk terus berada pada ruas-ruas sepi dan pemberani, menjajaki sedikit semak berduri dan berdiri tegak yang mengajak kita untuk sedikit dan sesekali melompat.

Lalu Muhammad Alwi
Lalu Muhammad Alwi

No responses yet